Friday, July 5, 2013

Heat Stress

Yang dimaksud dengan heat  stress disini adalah reaksi fisik dan fisiologis pekerja terhadap suhu yang berada diluar kenyamanan bekerja. Paparan panas terhadap tubuh dapat berasal dari lingkungan kerja (panas eksternal), panas yang berasal dari aktivitas kerja (panas internal) dan panas karena memakai pakain yang terlalu tebal. Heat stress terjadi apabila tubuh sudah tidak mampu menseimbangkan suhu tubuh normal karena besarnya beban panas dari luar. Jika tubuh terpapar panas, maka sistem yang ada didalam tubuh akan menpertahankan suhu tubuh internal agar tetap pada suhu normal (36-38 C) dengan cara mengalirkan darah lebih banyak kekulit dan mengeluarkan cairan atau keringat. Pada saat demikian jantung bekerja keras memompa darah ke kulit untuk mendinginkan tubuh, sehingga darah lebih banyak bersirkulasi di daerah kulit luar. Ketika suhu lingkungan mendekati suhu tubuh normal, maka pendinginan makin sulit dilakukan oleh sistem tubuh. Jika suhu luar sudah berada diatas suhu tubuh maka sirkulasi darah dan keringat yang keluar tidak mampu menurunkan suhu tubuh kesuhu normal.  Dalam kondisi seperti ini, jantung terus memompa darah kepermukaan tubuh, kelenjar keringat terus mengeluarkan cairan yang mengandung elektrolit ke permukaan kulit dan penguapan keringat menjadi cara yang efektif untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap konstan. Namun jika kelembaban udara cukup tinggi, maka keringat tidak dapat menguap dan suhu tubuh tidak dapat dipertahankan, dalam kondisi ini tubuh mulai terganggu. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan individu untuk bekerja dilingkungan panas. Dengan banyaknya darah mengalir kekulit luar, maka pasokan darah ke otak, otot-otot aktif dan organ internal lainnya menjadi berkurang sehingga kelelahan dan penurunan kekuatan tubuh mulai lebih cepat terjadi. Konsentrasi bekerja juga mulai terganggu.
Bekerja di area panas dapat meningkatkan potensi terjadinya kecelakaan, misalnya karena telapak tangan licin akibat berkeringat, pusing, fogging dari kaca mata safety dan luka bakar jika tersentuh benda panas. Selain dari bahaya ini jelas, frekuensi kecelakaan, secara umum tampaknya lebih tinggi di lingkungan yang panas daripada di kondisi lingkungan yang lebih moderat. Salah satu alasannya adalah bahwa bekerja di lingkungan yang panas menurunkan kewaspadaan mental dan kinerja fisik individu. Peningkatan suhu tubuh dan ketidaknyamanan fisik dapat meningkatkan emosi, kemarahan, dan kondisi emosional lainnya yang kadang-kadang menyebabkan pekerja mengabaikan prosedur keselamatan atau kurang hati-hati terhadap bahaya ditempat kerja.
Paparan berlebihan terhadap lingkungan kerja yang panas dapat mengakibatkan berbagai gangguan terhadap tubuh. Berikut adalah gangguan yang dapat terjadi akibat panas:
Heat Stroke
Heat stroke adalah akibat yang paling serius dari bekerja di lingkungan panas. Hal ini terjadi karena sistem pengatur suhu tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dengan mengeluarkan keringat (keringat terhenti). Suhu tubuh naik secara dramatis, dan korban mengalami gannguan mental serta kejang-kejang. Jika hal ini terjadi, korban harus segera dikeluarkan dari area panas dan ditempatkan diarea dingin, tubuhnya harus dibasahi dengan kain basah untuk menurunkan suhu tubuhnya sebagai pertolongan pertama. Selanjutnya korban harus dibawa kerumah sakit untuk mendapat pertolongan lebih lanjut. Jangan sampai terlambat karena bisa berakibat kematian.
Heat Exhaustion
Heat exhaustion atau kelelahan panas dapat mengalami beberapa gangguan klinis yang dapat menyerupai gejala awal heat stroke. Kelelahan panas diakibatkan oleh hilangnya sejumlah besar cairan tubuh melalui keringat, kadang-kadang disertai kehilangan cairan elektrolit yang berlebihan. Pekerja yang mengalami kelelahan panas masih berkeringat tetapi mengalami kelelahan, pusing, mual atau sakit kepala. Dalam kasus yang lebih serius, korban bisa muntah atau hilang kesadaran, kulit basah atau lembab, pucat atau memerah dan suhu tubuh normal atau sedikit diatas normal. Pada kondisi ini korban harus segera dipindahkan ketempat yang dingin untuk mendapatkan perawatan dan istrihat yang cukup.
Heat Cramps
Heat cramps atau kram panas adalah terjadinya kram atau kejang pada otot-otot akibat kehilangan cairan elektrolit, meskipun sudah minum air secukupnya namun tidak bisa menggantikan garam didalam tubuh, bahkan air yang diminum mengencerkan cairan elektrolit yang ada didalam tubuh dan semakin mempermudah cairan elektrolit tersebut keluar dari tubuh sehingga kadar cairan elektrolit makin rendah, dan hal ini menyebabkan otot mengalami kram yang menyakitkan. Biasanya kram dapat terjadi pada otot kaki, lengan, atau perut. Biasanya otot-otot yang lelah akan lebih mudah kram. Kram dapat terjadi selama satu atau setengah jam, dan dapat dipulihkan dengan meminum cairan yang mengandung elektrolit atau garam.
Fainting
Fainting atau pingsan  bisa terjadi bagi pekerja yang tidak terbiasa bekerja dilingkungan panas. Pada saat bekerja terjadi pembesaran pembuluh darah dibawah kulit dan bagian bawah tubuh mempertahankan suhu tubuh, sehingga darah terkumpul disana dan otak mengalami kekurangan suplai darah. Setelah pekerja yang pingsan dipindahkan ke ruangan yang lebih dingan dan dibaringkan untuk membiarkan darah mengalir ke otak agar korban sadar kembali.
Heat Rash
Heat rash atau biang keringat dapat terjadi pada lingkungan panas yang lembab, dimana keringat tidak bisa menguap dan menempel dikulit atau kulit tetap basah, sehingga memuncukan biang keringat. Untuk menghindari biang keringat pekerja bisa beristirahat diruangan yang dingin dan mandi bersih serta mengeringkan kulit. Jika biang keringatnya parah, maka sebaiknya berobat ke dokter kulit.
Transient Heat Fatigue
Transient heat fatigue adalah kelelahan panas sementara yang terjadi karena ketidaknyamanan akibat paparan panas yang dapat menyebabkan ketegangan mental atau psikologis. Biasanya terjadi pada pekerja yang rentan terhadap panas, dan dapat mengganggu kinerja, koordinasi dan kewaspadaan. Tingkat ketahanan terhadap panas dari pekerja yang suka mengalami transient heat fatigue dapat dinaikkan secara bertahap dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan panas.
ACGIH  (American Conference of Industrial Hygienist) memberikan nilai ambang batas (NAB) untuk paparan bekerja dilingkungan panas. Tujuan dari penentuan NAB adalah untuk menjaga agar suhu tubuh berada pada kondisi normal atau dibawah 38 deg C.
Nilai temperature yang tercantum didalam table diatas adalah merupakan hasil pengukuran dengan menggunakan heat stress monitoring atau dikenal dengan WBGT (baca wibget). Nilai WBGT merupakan fungsi dari kelembaban, radiasi panas dan temperature normal. Jadi tidak bisa hanya diukur dengan thermometer biasa dan kemudian digunakan pada table diatas.
Cara membaca table ACGIH diatas:
Kolom acclimated adalah untuk pekerja yang sudah terbiasa bekerja pada lingkungan panas dan Un-acclimated adalah untuk pekerja yang belum terbiasa bekerja dengan lingkungan panas atau pekerja baru. Biasanya kondisi daya tahan tubuh seseorang bisa menurun jika sudah lama tidak bekerja pada lingkungan panas, maka dalam hal ini digunakan kolom un-acclimated. Jika hasil pembacaan WBGT adalah 28.5 deg C, maka untuk pekerja yang sudah biasa dengan lingkungan panas (acclimated) boleh 50% bekerja dan 50% istirahat untuk kategori pekerjaan berat dalam setiap jamnya, jika pekerjaan sedang maka 75% bekerja dan 25% istirahat dalam setiap jamnya. Namun untuk pekerja yang un-acclimated maka 25% bekerja dan 75% istirahat untuk pekerjaan berat dalam setiap jamnya, atau 50% bekerja dan 50% istirahat untuk pekerjaan sedang dalam setiap jamnya. Definisi beban kerja menurut ACGIH adalah sebagai berikut:
Kerja ringan        :Adalah pekerjaan dengan menggunakan mesin dan tidak menggunakan tenaga, pekerja berdiri atau duduk dalam mengoperasikan mesin tersebut.
Kerja Sedang     :Berjalan sambil mengangkat atau mendorong benda dengan berat sedang seperting scrubbing dalam posisi berdiri.
Berat          :Menyekop pasir Bering, memotong dengan gergaji.
Sangat berat       :Menyekop pasir basah.
Di Indonesia juga ada SNI yang mengatur tentang nilai ambang batas iklim kerja, yaitu SNI 16-7063-2004. Tabel berikut menunjukan nilai ambang batas pengendalian iklim kerja (panas).
Kriteria beban kerja menurut SNI:
  • Beban kerja ringan membutuhkan kalori 100 – 200 kilo kalori/jam.
  • Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih besar 200 – 350 kilo kalori/jam.
  • Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih besar dari 350–500 kilo kalori/jam.
Keputusan menteri tenaga kerja nomor  KEP–51/MEN/I999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja juga memberikan nilai batasan yang sama dengan SNI tersebut diatas.

Manfaat Peningkatan Kinerja Manusia Dalam Proses Industri

Manfaat utama yang diperoleh dari penerapan prinsip-prinsip faktor manusia untuk proses operasi adalah untuk meningkatkan keselamatan dan mengurangi down time. Selain itu, pengurangan kesalahan manusiamemiliki potensi manfaat yang besar baik untuk kualitas dan produktivitas. Saat ini muncul minat yang besar dalam menerapkan pendekatanmanajemen mutu dalam Proses industri. Sebagian ahli kualitas menekankan pentingnya filsafat yang sampai ke penyebab kesalahan yang mengarah ke penyimpangan kualitas daripada mencoba untuk mengontrol kesalahan dengan kesalahan atau hukuman. Crosby (1984) secara eksplisit menganjurkan penggunaan program penghapusan kesalahan penyebab. Ahli lain seperti Deming (1986), dan Juran (1979) juga menekankan pentingnya  mengendalikan variabilitas kinerja manusia dalam rangka mencapai sasaran mutu. Di Eropa dan Amerika Serikat telah terjadi peningkatan minat dalam hubungan antara kualitas dan keselamatan (lihat, misalnya, Whiston dan Eddershaw, 1989, Dumas, 1987). Kegagalan kualitas dan keselamatan biasanya disebabkan oleh jenis yang sama yaitu dari kesalahan manusia dengan penyebab yang sama. Apakah kesalahan tertentu memiliki konsekuensi keselamatan atau konsekuensi kualitas tergantung pada kapan atau dalam proses mana kesalahan tersebut terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa investasi untuk pengurangan kesalahan manusia lebih efektif secara biaya, karena akan menghasilkan pengurangan kesalahan secara simultan pada pengurangan kecelakaan dan kegagalan kualitas.
Human error sering diabaikan dalam industri. Ada beberapa alasan kenapa mereka mengabaikan hal ini. Sebagian dari masalahnya adalah karena keyakinan di kalangan engineer dan manajer bahwa kesalahan manusia tak terelakkan dan tak terduga. Alasan lain adalah keyakinan bahwa peningkatan komputerisasi dan otomatisasi proses industri akan membuat ketergantungan pada manusia menjadi lebih sedikit bahkan tidak perlu. Kesalahan dari keyakinan ini dapat dilihat dari berbagai kecelakaan yang timbul pada pabrik atau proses yang dikontrol dengan sistem komputer. Selain itu, keterlibatan manusia akan terus diperlukan seperti pemeliharaan dan modifikasi pabrik, bahkan dalam proses yang paling otomatis sekalipun masih diperlukan manusia untuk menjalankannya. Meskipun demikian Human error sering dijadikan sebagai alasan penyebab kecelakaan atau kekurangan suatu proses. Mungkin mudah bagi suatu organisasi untuk menyalahkan manusia/pekerja sebagai penyebab terjadinya bencana besar akibat dari ketidak sempurnaan suatu proses atau sistem manajemen yang buruk.
Ref: Guidelines for Preventing Human Error in Process Safety – Center for Chemical Process Safety of the American Institute of Chemical Engineers

Teori Induksi Sistem Kesalahan Manusia

Salah satu teori yang menjelaskan penyebab terjadinya kecelakaan adalah teori induksi sistem kesalahan.  Dalam konsep ini dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi pendorong terjadinya suatu kesalahan atau error.  Ada dua kecenderungan kesalahan yang mendorong terjadinya kesalahan dalam suatu pekerjaan, yaitu kecenderungan kesalahan dari lingkungan dan kecenderungan kesalahan dari manusianya sendiri.
Kecenderungan Kesalahan Manusia
Ada beberapa faktor kecenderungan kesalahan yang berasal dari manusia itu sendiri, misalnya fallible Memory atau dalam bahasa sederhananya adalah sifat pelupa dari manusia. Pelupa memang sudah menjadi sifat manusia yang tidak mungkin untuk dihilangkan, dan juga adanya keterbatasan kemampuan untuk mengingat juga menjadi bagian dari falliable memory. Meskipun pekerjaan tersebut sudah menjadi rutinitas dan telah dilakukan dalam waktu yang lama, kemungkinan untuk lupa masih saja terjadi. Bahkan pada kondisi seperti ini, dimana pekerjaan tersebut sudah menjadi rutinitas, muncul perilaku menyepelekan pekerjaan tersebut sehingga menyebabkan lupa untuk melakukan tahapan-tahapan yang kritikal dan berpotensi menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Kecenderungan Kesalahan Lingkungan
Kecenderungan kesalahan yang disebabkan oleh kekurangan sistem dan lingkungan juga dapat menginduksi terjadinya kesalahan manusia. Misalnya adalah overload atau kelebihan beban kerja. Hal ini seringkali terjadi terutama dimasa-masa krisis ekonomi, dimana perusahaan dituntut untuk meningkatkan efesiensi atau menurunkan biaya produksi, dan sudah menjadi rahasia umum yang paling pertama dilakukan adalah meningkatkan produktifitas dengan cara rasionalisasi atau pengurangan tenaga kerja, tetapi target output malah dinaikan atau paling tidak sama. Dan sebagai dampaknya adalah setiap pekerja akan mendapat limpahan pekerjaan dari pekerja-pekerja yang dikeluarkan atau dipindah untuk efisiensi. Beban kerja yang berlebih akan menyebabkan kelelahan baik fisik maupun mental pekerja yang pada akhirnya akan memperbesar potensi terjadinya kesalahan.
Contoh lain dari kecendrungan kesalahan lingkungan adalah buruknya prosedur kerja yang dibuat, baik itu Standard Operating Prosedure (SOP)atau Working Instruction (WI). SOP atau WI yang buruk akan mendorong terjadinya kesalahan pekerja. Kapan SOP atau dikatakan buruk?, apabila SOP atau WI tersebut tidak dipahami oleh pekerja atau sipengguna, baik itu karena bahasanya, formatnya, isinya, tahapan-tahapan yang tidak jelas atau jelimet, dsb. Silahkan anda sekali waktu mencoba meminta atau bertanya kepada operator atau pelaksana dilapangan, apakah mereka memahami WI yang anda siapkan buat mereka, jika mereka dapat menjelaskan dengan baik maka WI tersebut bisa dikatakan baik, tapi jika tidak maka WI tersebut bisa dikatakan buruk.
Kurangnya training atau pelatihan juga menjadi salah satu faktor yang dapat menginduksi terjadinya kesalahan. Setiap pekerja harus diberikan pelatihan sebelum mereka memulai pekerjaan mereka dan harus sesuai dengan tanggung jawab mereka. Materi pelatihan juga harus disesuaikan dengan level pekerjaan mereka, demikian pula trainer yang memberikan pelatihan juga harus memiliki komptensi yang baik untuk menjelaskan. Semua pekerja harus memiliki komptensi yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Maka setiap melakukan pelatihan harus dilakukan evaluasi apakah kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh pekerja sudah tercapai atau belum. Maka perlu dikembangan materi pelatihan yang berbasis kompetensi untuk menjamin bahwa pekerja tersebut mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Semua faktor-faktor tersebut diatas baik fallible memory, buruknya SOP, atau buruknya pelaihan dapat menginduksi terjadinya kesalahan pekerja. Dari gambar accident causation sequence dapat dilihat bahwa semua faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku aman atau tidak aman dari seorang pekerja. Mereka akan bertindak atau mengambil keputusan sesuai dengan apa yang menginduksi mereka.
Ref: Guidelines for Preventing Human Error in Process Safety-Center for Chemical Process Safety of the American Institute of Chemical Engineers

Langkah Ke 6 Penerapan SMK3 OHSAS 18001

OHSAS 18001 mensyaratkan perusahaan untuk melakukan identifikasi terhadap semua perundangan, peraturan atau standar yang terkait dengan bisnis atau operasinya. Data ini sangat penting, karena menjadi landasan dalam menerapkan K3 di perusahaan. Perundangan K3 terkait tentunya tidak sama untuk setiap perusahaan sesuai dengan sifat bisnisnya. Persyaratan K3 untuk industry kimia, tentu berbeda dengan persyaratan K3 untuk industry manufaktur, jasa atau konstruksi. Pemerintah melalui departemen teknis juga mengeluarkan berbagai perundangan mengenai K3 yang menjadi dasar bagi perusahaan terkait. Misalnya ketentuan yang dikeluarkan di sector pertambangan, kelautan, industry kimia, kesehatan dan perkebunan. Misalnya dalam undang-undang migas, undang-undang perlindungan konsumen dan perundangan lainnyajuga mencantumkan ketentuan mengenai aspek keselamatan, sehingga harus di acu dalam mengembangkan SMK3. Untuk itu, perusahaan harus memiliki akses guna memperoleh semua perundangan tersebut yang berlaku untuk kegiatan usahanya. Untuk elemen ini, OHSAS 18001 mensyaratkan adanya prosedur manajemen untuk mengidentifikasi semua perundangan, peratuaranatau standar yang terkait dengan resiko yang terdapat dalam perusahaan.
Implementasi:
  • Tunjuk person yang ditugaskan untuk mengidentifikasi serta memiliki akses terhadap semua perundangan, peraturan dan standar terkait.
  • Susun Prosedur. Pada langkah – 6 ini, tim harus menyusun Prosedur mengenai identifikasi dan penyediaan akses terhadap semua perundangan dan peraturan terkait.
  • Buat dan keluarkan dokumen untuk mencatat informasi mengenai semua bentuk perundangan standar atau code yang relevan dengan operasi perusahaan. Semua perundangan tersebut perlu diidentifikasi mana saja yang memiliki impak terhadap operasi perusahaan, dan selanjutnya diinterpretasikan dengan jelas apa maksud dan tujuannya. Jika perlu dapatkan informasi lebih jelas dari pihak berwenang dengan perundangan tersebut sehingga tidak terjadi salah penafsiran di kemudian hari.
  • Pelihara akses. Perusahaan juga perlu membina akses terhadap semua perundangan dan peraturan atau kode yang berlaku tersebut. Misalnya secara berkala mendapatkan edisi terbaru dari standar atau kode yang diperlukan dari lembaga yang mengeluarkan misalnyaNFPA, API, ASTM, ISO dsb. Perusahaan juga harus membina hubungan yang baik dengan instansi atau pihak regulator yang mengeluarkan peraturan guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan kebijakan dan regulasi.  
Petunjuk
  • Tetapkan tanggung jawab. Tim menyusun dan merumuskan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan berbagai peraturan dan ketentuan yang ada. Tetapkan apa saja tanggung jawab legal pada level manajemen puncak dalam aspek K3, manajer lini, pengawas bahkan jika perlu sampai ke tingkat pekerja. Misalnya dalam undang- undang N0. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dan Undang-undang No. 13 tentang ketenagakerjaan ditetapkan berbagai kewajiban pengusaha dan pekerja. Hal ini harus dipahami dan diketahui oleh manajemen puncak, pekerja dan semua pihak dalam perusahaan.
  • Pertimbangkan semua sumber hukum. Dalam aspek hukum ini,perlu diperhatikan semua sumber hukum dan perundangan baik yang berlaku saat ini atau yang akan diberlakukan di waktu mendatang.
  • Dapatkan juga semua informasi mengenai perundangan dari tingkat nasional atau tingkat daerah, termasuk yang berkaitan dengan otorisasi, perijinan seperti ijin ketel uap, alat angkat dsb, serta aturan lainnya yang digunakan atas inisiatif perusahaan.
  • Lakukan konsultasi. Jika perlu lakukan konsultasi dengan berbagai pihak terkait dengan perundangan ini, misalnya instansi pemerintah, ahli hukum dsb. Dapatkan semua copi dari perundangan yang ada dan simpanlah dengan baik.
Tip penting 
  • Tinjau kembali dan kembangkan semua informasi mengenal kewajiban hukum yang diperoleh dari langkah – 3 (Tinjau Awal) sebagai masukan.
  • Dapatkan informasi di hukum dari berbagai sumber misalnya website yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah atau lembaga lainnya.
  • Jika perusahaan memiliki kantor korporat di tingkat pusat, usulkan agar aspek hukum ini dapat dikoordinir oleh kantor pusat sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga dalam mengumpulkannya.
  • Selanjutnya selesaikanlah Kebijakan K3 dengan mempertimbangkan semua perundangan yang telah diidentifikasi ini. (langkah – 5).

Langkah 5 Penerapan SMK3 OHSAS 18001

Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Resiko

Langkah ini memiliki kaitan yang erat dengan langkah sebelumnya, yaitu hasil dari tinjau awal, penetapan lingkup dan kebijakan K3. Identifikasi merupakan landasan penting dalam setiap sistim keselamatan. Menurut Frank Bird dalam bukunya Loss Control Management, untuk mengembangkan suatu sistim K3 yang baik, harus mengikuti tahapan yang disebut IEDIM, yaitu
  • Identification
  • Evaluation
  • Develop the Plan
  • Implementation
  • Measurement
Tahap pertama adalah melakukan identifikasi permasalahan yang ada dalam perusahaan, identifikasi semua potensi bahaya yang mungkin dapat terjadi. Setelah itu dilakukan evaluasi guna menentukan potensi dan tingkat resikonya (risk assessment). Jika potensi bahaya dan resiko telah diketahui maka dikembangkan rencana untuk pengendaliannya (Risk control) yang dilanjutkan dengan langkah implementasi dan pemantauan hasil pelaksanaannya.
Pada tahapan ini, kita mulai merumuskan aspek K3 yang ada dalam perusahaan yang berkaitan dengan adanya potensi bahaya serta bagaimana mengendalikannnya. Setiap perusahaan memiliki jenis bisnis berbeda sehingga potensi bahaya K3 yang ada dalam perusahaan akan berbeda pula. Potensi bahaya K3 dalam industri pertambangan tentu berbeda dengan potensi bahaya yang ada di sektor perhubungan atau industri manufaktur. Karena itu sebelum mulai membangun SMK3, perlu dilakukan identifikasi semua potensi bahaya yang ada dalam perusahaan sesuai dengan jenis bisnis masing-masing. Dari hasil penilaian ini, kemudian disusun suatu rating potensi bahaya yang dinilai signifikan bagi operasi perusahaan. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun rencana pengendaliannya (risk control) untuk mencegah agar potensi bahaya tersebut tidak berkembang menjadi kecelakaan atau bencana yang tidak diinginkan.
Implementasi
  • Tunjuk person yang bertanggung jawab menyusun potensi bahaya K3 dan melakuakan penilaiannya.
  • Tulis prosedur untuk mengidentifikasi potensi bahaya K3 dan tentukan mana saja yang signifikan bagi perusahaan.
  • Identifikasi bahaya mana saja yang memiliki dampak langsung bagi perusahaan.
  • Kumpulkan data yang diperlukan untuk memudahkan identifikasi bahaya ini, misalnya dari data kecelakaan yang pernah terjadi dalam perusahaan atau dari pengalaman industry serupa di tempat lainnya.
  • Lakukan analisa mengenai potensi bahaya K3 yang signifikan dan potensial impak terhadap operasi perusahaan.
  • Catat semua potensi bahaya K3 yang telah diidentifikasi, di evaluasi dan ditentukan ratingnya.
  • Lakukan tinjau ulang jika diperlukan sehingga identifikasi bahaya K3 tersebut akan selalu mutakhir sejalan dengan perkembangan dan kemajuan perusahaan, serta adanya informasi baru mengenai potensial hazards yang terkait dengan jenis dan lingkup usaha.
Saran
  • Libatkan semua unsur manajemen dalam penentuan bahaya ini, terutama mereka yang berada di lingkungan atau area kerja yang memiliki impak K3 yang signifikan. Berikan pelatihan kepada mereka mengenai teknik identifikasi bahaya yang digunakan untuk menentukan jenis dan resikonya.
  • Gunakan informasi yang telah diperoleh dari langkah – 3 ( Tinjau Awal) sehingga akan konsisten dengan kebijakan K3 yang telah ditetapkan sebelumnya serta resiko yang ada. Upayakan membuatnya secara sederhana namun harus bias mencerminkan unsur – unsur mengenai pematuhan terhadap perundangan, pencegahan bahaya dan kecelakaan, serta usaha peningkatan berkelanjutan.
  • Periksa konsistensinya dengan kebijakan yang telah ada seperti kebijakan Mutu atau Lingkungan. Periksa juga jika ada kebijakan yang bersifat korporat misalnya bagi perusahaan yang memiliki cabang atau anak perusahaanyang terdiri atau unit-unit kegiatan.

Langkah 4 Penerapan SMK3 OHSAS 18001

Kebijakan K3

Langkah ke empat dalam penerapan SMK3  adalah menyusun dan menetapkan Kebijakan K3 (OH&S Policy). Kebijakan K3 merupakan persyaratan penting sebagaimana halnya dalam semua sistim manajemen lainnya seperti Sistim Manajemen Lingkungan dan Sistim Manajemen Mutu. Kebijakan K3 merupakan komitmen tertulis dari manajemen puncak dan semua unsur dalam perusahaan untuk melaksanakan K3 sebagaimana mestinya.
Karena itu, kebijakan K3 ini sangat penting dan menjadi landasan utama yang diharapkan mampu menggerakan semua partikel yang ada dalam perusahaan sehingga program K3 yang diinginkan dapat berhasil dengan baik. Namun demikian, suatu kebijakan hendaknya hanya jangan bagus dan indah di atas kertas tetapi tidak ada implementasi atau tindak lanjutnya sehingga akan sia – sia belaka. Tanpa adanya kebijakan yang dilandasi dengan komitmen yang kuat, apapun yang direncanakan tidak akan berhasil atau berjalan seadanya.
Persyaratan
Kebijakan K3 merupakan landasan utama dalam sistim manajemen K3. Karena itu, OHSAS 18.001 mensyaratkan adanya kebijakan K3 yang diotoritaskan oleh manajemen puncak, dan harus secara jelas menyatakan sasaran K3 menyeluruh dan adanya komitmen manajemen terhadap aspek K3 dalam perusahaan. Kebijakan K3 ini harus dikomunikasikan dengan semua pihak yang terkait dengan perusahaan, seperti pekerja, pemasok, kontraktor atau konsumen, termasuk jika diperlukan masyarakat sekitar perusahaan.
Kebijakan ini disusun berdasarkan hasil langkah 2 dan 3 dimana telah ditetapkan lingkup dan isu pokok yang terkait dengan perusahaan. Karena itu harus tercermin dalam kebijakan ini. OHSAS 18.001 tidak mensyaratkan adanya prosedur tentang kebijakan, namun kebijakan tersebut harus didokumentasikan dengan baik. Misalnya dibuat dalam bentuk leaflet, atau dimasukkan dalam website perusahaan sehinggga dapat di akses dengan mudah.
Implementasi 
  • Tunjuk personil yang bertanggung jawab untuk merumuskan, mendokumentasikan dan mengkomunikasikan Kebijakan K3 perusahaan.
  • Tulis konsep Kebijakan K3 berdasarkan masukkan dan hasil langkah 2 dan 3.
Pembuatan konsep ini dapat dilakukan oleh salah seorang anggota tim yang ditunjuk.
  • Periksa Konsistensi. Setelah konsep kebijakan disusun, periksa konsistensinya dengan kebijakan lainnya yang ada dalam perusahaan misalnya kebijakan Mutu, Lingkungan, Sekuriti, atau dalam bidang operasional lainnya. Jangan sampai ada hal yang bertentangan sehingga akan mempengaruhi efektifitas kebijakan yang akan ditetapkan.
  • Komunikasikan kebijakan yang telah disusun kepada semua pihak dalam perusahaan, khususnya para pekerja yang akan terkait dengan pelaksanaannya. Dengan demikian, diharapkan semua pihak akan memiliki komitmenyang sama terhadap kebijakan yang ditetapkan.
  • Publikasikan sehingga kebijakan tersebut dapat di akses oleh semua pihak yang berkepentingan seperti pemasok, instansi pemerintah, serikat pekerja, kontraktor, dsb.
Dalam hal ini dapat ditempuh berbagai cara misalnya melalui Buku Panduan, Leaftlet perusahaaan, Web Site perusahaan, Media publikasi atau majalah, penempatan di papan pengumuman dsb.
  • Lakukan review atau evaluasi secara berkala. OHSAS tidak menetapkan waktu yang diperlukan untuk melakukan tinjau ulang. Namun demikian, kebijakan tidak statis, sehingga dapat berubah sesuai dengan perkembangan bisnis perusahaan, perubahan dalam perundangan  atau standar industry, adanya kecelakaan atau kejadian yang mempengaruhi implementasi K3, perubahan manajemen, dsb. Untuk itu, manajemen harus secara berkala melakukan tinjau ulang kebijakan ini. Sebaiknya disamakan dengan kebijakan lainnya yang dimiliki seperti Mutu, Lingkungan, dsb.
Saran
  • Kebijakan K3 harus ditetapkan pada level manajemen puncak dalam perusahaan, atau unit kegiatan sesuai dengan lingkup penerapan OHSAS 18001 yang telah ditetapkan di langkah- 2. Karena itu, Kebijakan K3 harus ditandatangani oleh Top Manajemen secara korporat atau di unit/ lokasi yang ditentukan. Tanpa komitmen manajemen puncak, maka K3 tidak akan berhasil dengan baik. Dengan menandatangani Kebijakan K3, manajemen puncak seharusnya telah memiliki komitmen untuk memenuhi semua ketentuan dan standar yang berkaitan dengan bisnisnya, sekaligus juga menempatkan aspek K3 setara dengan aspek lainnya dalam perusahaan dan bagian integral dengan bisnis strateginya.
  • Dalam menyusun kebijakan K3 gunakan hasil tinjau awal pada langkah – 3 dan susunlah sesederhana mungkin, namun harus mencerminkan unsur berikut ini:
    • Sesuai dengan potensi resiko yang ada di perusahaan;
    • Adanya peningkatan berkelanjutan;
    • Komitmen untuk memenuhi semua perundangan yang berlaku
  • Periksa konsistensi dengan kebijakan lainnya yang telah dimiliki perusahaan, misalnya kebijakan mutu, kebijakan lingkungan atau kebijakan operasi. Jika terjadi pertentangan akan menimbulkan kesulitan dalam penerapannya.
  • Buatlah akses untuk mendapatkan atau memperoleh kebijakan ini, sehingga mudah diperoleh, mudah diketahui dan dipahami oleh setiap pihak terkait, internal maupun eksternal perusahaan.
  • Tempatkan kebijakan pada lokasi/ tempat yang memungkinkan diketahui dan dibaca, misalnya di papan pengumuman, di kantin, website perusahaan atau ruangan rapat.
  • Pastikan bahwa kebijakan ini ditinjau ulang secara berkala. Masukkan masalah kebijakan ini dalam setiap agenda rapat Tinjauan Manajemen (ref langkah – 24)

Langkah 3 Penerapan SMK3 OHSAS 18001

Tinjau awal dimaksudkan untuk mengetahui posisi perusahaan, kondisi K3yang telah berjalan, serta berbagai permasalahan yang dihadapi serta isu – isu mengenai K3 yang terkait dengan bisnis perusahaan.
Persyaratan
Tinjau Awal tidak disyaratkan dalam OHSAS 18.001, namun berdasarkan pengalaman dalam menerapkan sistim manajemen K3, langkah ini sangat diperlukan untuk keberhasilan implementasi selanjutnya. Dalam tahapan ini, kita melakukan tinjauan terhadap seluruh permasalahan dan isu K3 yang ada dan mungkin timbul dalam operasi perusahaan, termasuk juga melakukan tinjauan terhadap berbagai perundangan, code dan standar yang berkaitan dengan operasi perusahaan. Tinjau awal ini juga merupakan suatu “base line assessment” untuk memotret kondisi K3 dalam perusahaan sehingga kita dapat melakukan “mapping” terhadap berbagai masalah K3 yang ada, fungsi yang terkait dan kondisi lingkungan yang dapat terpengaruh atau mempengaruhi K3 dalam perusahaan. Walaupun tidak disyaratkan membuat suatu prosedur, sebaiknya langkah ini dilakukan dengan cara sistematik, misalnya dengan mengembangkan suatu sistimcheck list Base Line Assesment.
Implementasi
Kegiatan yang diperlukan dalam langkah ini antara lain:
    • Menunjuk person yang bertanggung jawab mengumpulkan semua informasi yang diperlukan.
    • Melakukan identifikasi terhadap semua perundangan dan peraturan K3 yang terkait dengan bisnis perusahaan.
    • Melakukan identifikasi terhadap semua potensi resiko yang mungkin timbul. Gunakan teknik identifikasi yang sesuai untuk jenis bisnis perusahaan seperti What if, Hazops (Hazards and Operability Study) atau PHA (Preliminary Hazards Analysis), walaupun tidak perlu terlalu detail.
    • Bandingkan praktek yang berjalan dengan persyaratan dalam OHSAS 18.001, misalnya apakah perusahaan telah memiliki kebijakan K3 sesuai yang disyaratkan dan apakah kebijakan itu telah memadai menurut OHSAS 18.001. Langkah ini juga sering disebut “gap analysis” yaitu membandingkan kenyataan yang ada saat ini dengan kondisi yang seharusnya menurut standar yang berlaku.
    • Lakukan tinjauan terhadap kinerja K3 yang telah berjalan, kalau bisa dalam periode 5 – 10 tahun sebelumnya, misalnya angka statistik kecelakaan, kejadian, pencemaran, penghargaan K3 dsb. Hasil analisis ini akan memperlihatkan berbagai kelemahan yang ada serta titik kritis yang mungkin terdapat dalam operasi perusahaan.
 Saran
Untuk keberhasilan langkah – 3 disarankan sebagai berikut:
    • Lakukan kegiatan tinjau awal ini dengan menggunakan Tim Pelaksana (Action Team) yang telah dibentuk bersama MR(Management Representative). Upayakan agar seluruh anggota tim terlibat aktif dalam tahap ini, karena sangat bermanfaat untuk menyamankan persepsi anggota tim.
    • Mulailah dengan melakukan identifikasi semua perundangan yang terkait dengan K3 yang relevan dengan operasi perusahaan, misalnya persyaratan pencegahan kebakaran, kecelakaan, persyaratan mekanis, listrik, persyaratan lingkungan kerja seperti kebisingan, cahaya, dsb.
    • Lakukan penilaian terhadap semua proses operasi dalam perusahaan untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai potensi dan dampak yang signifikan bagi lingkungan, pekerja atau perusahaan.
    • Kumpulkan semua informasi yang menyangkut kinerja K3 perusahaan baik yang positif seperti penghargaan K3, pencapaian Zero Accident ataupun yang bersifat negatif seperti kasus kecelakaan, kebakaran atau pencemaran Informasi minimum yang dikumpulkan sekurangnya dalam dua tahun terakhir.
    • Dokumentasikan semua hasil yang diperoleh selama langkah – 3 ini dengan sebaik – baiknya karena akan diperlukan nanti pada langkah berikutnya.
 Beberapa hal penting:
    • Ada hal yang paradok dalam langkah ini yang mungkin sedikit membingungkan . Bagaimana kita dapat melakukan tinjauan tentang isu K3 sebelum kita mengenalnya lebih dahulu. Tidak perlu khawatir karena langkah – 3 ini hanya bersifat tinjauan umum dan belum bersifat detail yang akan dilakukan nanti pada langkah – langkah berikutnya.
    • Identifikasi semua isu K3, jika perlu hubungi instansi terkait seperti Depnaker, Migas, Perindustrian, atau lembaga lainnya seperti asosiasi misalnya API (American Petroleum Institute), ASME dll.
    • Lakukan tinjauan terhadap kecelakaan, limbah, sumber daya, sistim pembelian atau kontak karena hal ini akan diperlukan. Kumpulkan data jika dalam perusahaan telah terdapat prosedur mengenai hal tersebut, misalnya dalam sistim manajemen mutu ISO 9000 atau ISO 14.000 yang telah dilaksanakan.
    • Mulailah melakukan penulisan Prosedur Operasi dengan melibatkan para manajer operasi mengenai semua hal yang telah diidentifikasi sebelumnya.
    • Dokumentasikan semua prosedur yang disyarat dalam OHSAS 18.001
    • Batasi initial review ini pada kondisi yang telah berjalan. Karena ini bersifat tinjau awal, kita tidak perlu melakukan analisis mengenai rencana di masa mendatang, misalnya akan membuat unit baru, pengembangan usaha, dsb.
    • Masukkan aspek pelatihan dalam tinjauan ini, termasuk program pelatihan yang sudah berjalan, serta jumlah pelatihan yang telah dilakukan.

Langkah 2 Penerapan SMK3 OHSAS 18001

Langkah kedua dalam penerapan SMK3 OHSAS 18001 adalah menentukan ruang lingkup SMK3 yang akan dikembangkan dalam perusahaan. OHSAS 18001 tidak menentukan batasan atau lingkup operasi penerapan SMK3, sehinggga pada dasarnya dapat diimpelementasikan diseluruh jenis dan lingkup kegiatan perusahaan. OHSAS 18001 hanya menyebutkan bahwa standar ini sesuai bagi perusahaan yang ingin:
  • Membangun SMK3 untuk menghilangkan atau mengurangi risiko terhadap pekerja atau pihak lain terkait yang mungkin terpapar oleh potensi bahaya yang terdapat dari kegiatan usahanya.
  • Mengimplementasikan, memelihara dan meningkatkan SMK3.
  • Meyakinkan bahwa perusahaan telah memenuhi kebijakan K3 yang ditetapkan.
  • Menunjukan kepada pihak lain bahwa SMK3 yang dijalankan telah sesuai dengan standar.
  • Mendapatkan pengakuan dan sertifikasi dari pihak eksternal (Lembaga sertifikasi).
  • Membuat pernyataan sendiri bahwa mereka telah memenuhi standar SMK3 yang berlaku.
Karena itu setiap spesifikasi dalam OHSAS 18001 telah disusun sehingga dapat terintegraso dengan setiap SMK3 yang dipakai atau dikembangkan dalam perusahaan.
Sebelum mulai menerapkan SMK3 OHSAS 18001 perlu ditentukan lebih dahulu lingkup penerapannya. Pada tahapan ini adalah implementasi mempersiapkan lingkup penerapan OHSAS 18001 dan mengkomunikasikannya dengan manajemen. Penetapan lingkup penerapan ini sangat penting sehingga dilakukan diawal langkah implementasi karena akan menentukan langkah-langkah berikutnya. OHSAS 18001 tidak menentukan bagaimana rincian dan lingkup yang akan dilaksanakan, sangat tergantung kepada besarnya perusahaan dan bentuk serta jenis kegiatannya. OHSAS 18001 menyebutkan bahwa perusahaan bebas menentukan batasan dan memilih penerapan OHSAS 18001 diseluruh perusahaan atau bagian tertentu saja. Namun demikian dalam menentukan lingkup ini perusahaan jangan hanya sekedar ingin mempermudah penerapan, misalnya dengan meninggalkan unit-unit kritis atau unit dengan kompleksitas tinggi. Penentuan lingkup ini juga harus mempertimbangkan program K3 yang telah dijalankan dalam perusahaan.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah:
  • Pertimbangkan dengan baik pilihan anda dalam menentukan lingkup. Pilihan untuk menetapkan hanya pada bagian tertentu saja yang kelihatan mudah, pada akhirnya akan terkait juga dengan keselurihan aktifitas organisasi. Maka cakupan keseluruhan organisasi sebenarnya lebih mudah.
  • Mulailah dengan lingkup yang sederhana termasuk kegiatan internal dan pemasok utama.
  • Mempengaruhi pemasok lokal yang kecil akan jauh lebih mudah dibandingkan pemasok berskala global.
  • Persiapkan rancangan awal dari manual K3. Karena dengan membuat konsep manual ini kita akan mengetahui apa saja lingkup kegiatan operasi yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan lingkup SMK3.

Keterbatasan Metode Hazard Evaluation

Hazard Evaluation (HE), memiliki beberapa keterbatasan, apakah menggunakan metode berdasarkan pengalaman atau prediksi,  tetatp tunduk pada sejumlah keterbatasan teoritis dan praktis. Dalam buku “Element of Process Accident” disebutkan ada lima keterbatasan metode evaluasi bahaya, yaitu:
1. Completeness (Kelengkapan)
Masalah kelengkapan mempengaruhi studi HE dalam dua cara. Pertama,muncul pada langkah analisis bahaya dimana tidak bisa dipastikan bahwa semua stuasi berbahaya telah diidentifikasi. Kedua, bagi bahaya yang telah diidentifikasi, analis bahaya tidak dapat menjamin bahwa semua kemungkinan penyebab dan potensi dampak kecelakaan telah dipertimbangkan. Mustahil bagi seorang analis untuk mengidentifikasi semua bahaya dan
mungkin bisa salah menilai. Meskipun demikian, analis yang sudah berpengalaman dalam melakukan HE, menggunakan tekni HE yang tepat dan pengalaman yang relavan akan dapat mengurangi keterbatasan dalam kelengkapan HE ini.
2. Reprodusibilitas
Keterbatasan yang juga sangat penting untuk diperhatikan dari Hazard Evaluation adalah hasil dari Hazard Evaluation itu sendri, karena hasilnya sangat subyektif dan sulit untuk diduplikasi meskipun oleh para ahli dalam bidang ini. Meskipun dengan metode berbasis pengalaman dan prediksi, untuk mendapatkan hasil studi Hazard Evaluation yang berkualitas tinggi, sangat tergantung kepada penilaian yang baik dari analis. Analis harus selalui mengaris bawahi mana yang merupakan asumsi dan mana yang merupakan fakta, sehingga hasil hazard evaluation yang dilakukan dapat dikaji ulang oleh analis berikutnya jika diperlukan untuk diperdalam.
3. Ketidak Jelasan Teknik
Evaluasi bahaya dapat menghasilkan ratusan halaman laporan dan table, memerlukan waktu berjam-jam untuk mereview dalam meeting, seperti menggunakan teknik fault tree dan event tree, dan teknik lainnya. Banyak analis yang kebingungan untuk menyimpulkan atau menginterpretasikan data olahan dari teknik HE yang digunakan. Untuk mendapatkan hasil yang efektif dari suatu studi HE sangat tergantung pada metode yang digunakan dan besarnya masalah yang dianalisis. Evaluasi bahaya yang baik tentu akan menghasilkan rekomendasi yang jelas dan dapat dipahami dan diimplementasikan.
4. Relevansi Basis Pengalaman
Beberapa metode evaluasi bahaya hanya bergantung pada pengalaman dari analis dengan proses operasi yang sama (misalnya teknik Checklist).  Teknik lain melibatkan prediksi dari analis untuk memprediksi sebab dan akibat dari potensi bahaya berdasarkan kreatifitas dan justifikasi dari analis. Semua teknik berharap dapat memanfaatkan semua pengalaman yang pernah terjadi, namun jika tidak ditemukan pengalaman serupa maka teknik prediktif sangat diperlukan untuk evaluasi bahaya seperti teknik HAZOPatau FTA. Jadi pengalaman yang relevan dalam melakukan evaluasi bahaya sangatlah penting untuk mendapatkan hasil yang baik, jadi tidak cukup hanya dengan menguasai teknik evaluasi bahaya.
5. Subjektif
Evaluasi bahaya harus dilakukan oleh team yang memiliki kualifikasi dan pengalaman dalam bidangnya. Meskipun demikian kebanyakan hasil evaluasi bahaya didasarkan pada penilaian subjektif dari team karena banyak kejadian yang dinilai berdasarkan scenario yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sifat subjetivitas ini menimbulkan kekurang yakinan dari hasil yang diperoleh, sehingga rekomendasi pengendalian yang direkomendasikan seringkali diabaikan. Sebagian berkeyakinan bahwa teknik kuantitatif jauh lebih dari teknik kualitatif, karena teknik kuantitatif dapat menutupi atau menghilangkan prediksi dalam evaluasi bahaya. Meskipun seharusnya tidak demikian, karena kedua metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang terpenting adalah bahwa team harus memiliki keyakinan terhadap apa yang sudah putuskan dalam evaluasi bahaya.